Senin, 26 April 2010

berbagilah dengan buku, itu jauh lebih baik

Apabila Anda telah membaca salah satu buku saya, terima kasih. Saya menuliskannya untuk dibaca, jadi tanpa Anda, itu akan menjadi pekerjaan tak berguna.

Saya mau minta tolong. Bersediakah Anda memberikan buku Anda itu (atau meminjamkannya, bagi saya sama saja) kepada orang lain?

Temukan seseorang yang Anda pedulikan, berikan buku itu kepada mereka, dan desak mereka untuk membacanya. Saya akan menganggap itu hadiah yang sangat berharga, dan saya harap mereka pun beranggapan demikian.

Sebenarnya, jangan lakukan itu hanya dengan buku-buku saya, lakukan itu dengan semua buku yang telah mengubah Anda, terlepas dari siapa pengarangnya atau usianya. Buku menjadi tidak menarik kecuali jika orang membacanya. Ide yang menyebarlah yang akan menang.

Kamis, 15 April 2010

SISTEMATIKA IKAN

Pisces (= Osteichthyes = Ikan), tidak hanya mengalami perbedaan-perbedaan didalam perinciannya kedalam kategori-kategori yang lebih rendah, tetapi juga kedudukan pisces itu sendiri didalam hirarki alam binatang menurut ketetapan ahli yang satu berbeda dengan ahli yang lain. Para ahli ini masing-masing mempunyai pengikut-pengikut dan di antara para ahli ada beberapa yang mempunyai pengikut dikalangan yang sangat luas, sehingga sistematika yang ditetapkan oleh para ahli ini merupakan sistematika yang umum dipakai di Negara-negara atau kelompok negara tertentu. Sistem Boulenger, seorang ahli taksonomi Inggris, umum di pergunakan didaerah Inggris Raya dan bekas jajahannya. Sistem Schultz banyak dipergunakan di Jerman dan bekas daerah Jerman, disamping sistem Bleeker. Sistem Bleeker sendiri umum dipakai di Negeri Belanda, Belgia, Perancis dan bekas daerah jajahannya. Di Amerika Serikat bermacam-macam sistim dipergunakan. H. H, Newman dan University of Chicago menyusun suatu sistematika yang merupakan penyederhanaan dari gabungan berbagai-bagai sistem dengan mempergunakan prinsip dichotomy, yaitu pembagian dari sesuatu kategori kedalam kedalam dua kategori yang lebih rendah, yaitu satu yang penting dan satu lagi yang kurang penting. Untuk memungkinkan tercapainya hal ini maka Newman banyak mempergunakan kategori intermedier.

Ian S. R. Munro yang telah menyusun kunci Identifikasi dari 846 jenis ikan yang terdapat di Sri-Langka pada dasarnya mempergunakan klasifikasi dari L. S. Berg yang disana-sini sedikit dirobah. Chote Suvatti dari Siam yang menghimpun fauna Siam mempergunakan sistematis yang banyak dipengaruhi oleh Smith. Jumlah jenis ikan yang dilingkupi oleh Chote Suvatti ialah 1059 jenis.

Ikan-ikan didaerah Nusantara Indo-Australia yang meliputi semenanjung Melayu, Indonesia, Philipina, dan Irian telah dihimpun oleh Max Weber dan L. de Beaufort, dan terdiri dari kurang lebih 4000 jenis. Klasifikasi yang dipergunakan pada hakekatnya ialah klasifikasi Bleeker yang disana-sini diperbaiki oleh Sunier, Weber, dan de Beaufort sendiri. Oleh karena itu untuk Indonesia dan Malaysia klasifikasi Bleeker inilah yang merupakan klasifikasi utama.

Sebagai contoh beberapa macam sistem klasifikasi:

- Sistem Boulenger, umumnya dipergunakan di Inggris dan bekas jajahannya. Selain sistem ini, di sana dipakai pula sistem J.R. Norman.
- Sistem Schultz, banyak dipergunakan di Jerman dan bekas jajahannya, di samping sistem Bleeker.
- Sistem H. H. Newman disusun dari berbagai gabungan beberapa sistem dan disederhanakan dengan mempergunakan prinsip dikotomi. Sistem ini banyak dianut di Amerika, yang banyak pula memakai sistem D. S. Berg, sistem Jordan dan sebagainya.
- Sistem Bleeker, umumnya dipakai di Negeri Belanda, Belgia, Prancis dan bekas jajahannya
- Sistem Ian S. R. Munro, yang merupakan modofikasi sistem L. S. Berg, dipergunakan di Sri Langka yang telah mengidentifikasikan sebanyak 846 jenis ikan di daerah tersebut.
- Sistem Chote Suvatti, yang di pengaruhi oleh sistem Smith, terutama dipakai di Thailand. sistem ini mencakup 1.059 jenis ikan di daerah tersebut.
- Sistem Bleeker, yang telah diperbaiki oleh Sunier, Weber dn de Beaufort, merupakan sistem klasifikasi ikan-ikan yang terdapat didaerah Indo-Australia.
- Sistem-sistem lainnya seperti L. S. Berg, Jordan, Romer dan Nikolski sangat luas dipakai di seluruh pelosok dunia.
1. Ian S. R. Munro mempergunakan untuk ikan-ikan di Sri-Langka klasifikasi L. S. Berg yang agak dirobah sebagai berikut:
Kelas : Elasmobranchii
Subkelas : Selachii
Ordo : Lamniformes
Ordo : Rajiformes (Hypotremata)
Kelas : Elasmobranchii
Subkelas : Selachii
ordo : Lamniformes
ordo : Rajiformes ( Hypotremata )
ordo : Torpediniformes ( Squaliformes ) / Pleurotremata
Kelas : Teleostei
Subkelas : Actinopterygii
ordo : Pleuronectiformes
ordo : Pegasiformes
ordo : Mastacembeliformes

KAJIAN SEDIAAN SUMBER DAYA IKAN LAUT INDONESIA.

Uraian berikut,adalah gambaran singkat tentang beberapa komoditas yang telah dikaji selama ini, terutama antara periode 2002-2005

SDI Pelagis Besar.
Daerah penyebaran dan penangkapan sumber daya ikan pelagis besar terutama di Samudra Hindia,Laut Sulawesi dan sekitarnya, Laut Banda dan Samudra Pasifik

Di WPP teluk Tomini-Laut Seram Dugaan densitas terutama di lapisan permukaan hingga kedalaman 200 m, total biomassa ikan pelagis diduga sebesar 656.305 ton (kepadatan 11,1 ton/km2 ) dimana sebagian besar (85%) terdiri ikan pelagis besar dan pelagis kecil 15 %.

Dengan tehnologi penangkapan yang ada saat ini tingkat eksploitasi sumber daya pelagis besar (tuna) baru 21%,yang dieksploitasi di sekitar permukaan (< 150 m ).

Laju tangkap pancing tuna untuk ikan ukuran dewasa ( > 25 kg ) antara 1-2 ekor/trip,tetapi hasil tangkapan ikan muda ( baby tuna/juvenil,< 10 kg ) tidak terkendali.Penurunan laju tangkap (dalam kg/trip) pada bulan Februari-Juni akibat,kenaikan hasil tangkapan ikan muda dengan dominasi mencapai 50 %; musim tangkapan ikan dewasa berlangsung sekitar musim barat.

Di WPP laut Sulawesi-Samudra Pasifik ukuran ikan tuna dan cakalang yang tertangkap sudah kecil-kecil (di bawah Lm), melebihi 50 % dari hasil tangkapan pada bulan – bulan tertentu, Hal ini mengindikasikan bahwa perikanan sudah mengalami tekanan penangkapan yang tinggi.

Di WPP Samudra Hindia aplikasi model produksi surplus terhadap data tuna besar (large tuna) menunjukkan bahwa tingkat MSY telah dilampui,sehingga tingkat pemanfaatannya diduga sudah Fully explotted.Nilai MSY ini hendaknya tidak dianggap sebagai satu-satunya acuan, karena tuna bersifat highly migratiory.

SDI PELAGIS KECIL
Di WPP Selat Malaka dugaan potensi lestari (MSY) sumber daya ikan pelagis kecil dengan model Produksi Surplus adalah sekitar 170.000 ton upaya optimum, f 0pt = 5500 unit, setara pukat cincin,sedangkan dengan metode hidro-akustik diperoleh rata-rata potential yield sebesar 240.000 ton. Produksi ikan pelagis kecil pada tahun 2002 adalah sekitar 182.800 ton. Dengan demikian, maka tingkat pengusahaannya sudah berada pada tahapan ‘fully exploited’

Sejak tahun 2000, alat tangkap cumi-cumi berkembang pesat menunjukkan adanya kelimpahan cumi-cumi. Secara tidak langsung nelayan telah melakukan sistem tutup-buka dalam pemanfaatan sumber daya perikanan.

Suatu kenyataan kita hadapi bahwa perairan pesisir utara Jawa sudah menderiti ke jenuhan bagi usaha perikanan, di mana jumlah perahu motor dan nelayan tidak sebanding dengan potensi perikanan yang tersedia. Selama ini peningkatan kapasitas penangkapan armada kapal ( terutama kapal >30 GT ) yang berasal dari pantai utara P.Jawa, sebagian besar beroperasi dan terkonsentrasi di dekat pantai selatan Kalimantan dan Selat Makasar.

Di WPP Laut Banda, potensi lestari (MSY) ikan pelagis kecil yang dianalisis dengan model Surplus Produksi berdasarkan data tahun 1992-2002 belum dapat dihitung.Analisis regresilinier antara effort dan CPUE memberikan nilai positif untuk nilai B (=slope) dimana produksi,effort dan CPUE masih cenderung meningkat.

Di WPP Samudera Hindia,potensi sumber daya ikan pelagis kecil di sub WPP Barat Sumatera cukup besar dan diduga masih ‘under-exploited’.Trend indeks kelimpahan stock sumber daya ikan pelagis kecil periode 1992-2003 di sub WPP Barat Sumatera cenderung naik dengan sedikit fluktuasi. Di sub WPP Barat Sumatera, kelompok ikan pelagis kecil didominasi oleh ikan kembung ( Reastrelliger spp ) sedangkan di Selatan Jawa-Bali-Nusatenggara oleh kelompok ikan lemuru,Sardinella Lemuru.

SDI Demersal
Di WPP Selat Malaka,estimasi potensi lestari SDI demersal adalah sebesar 81.060 ton ( 81.000 ton ) Upaya penangkapan ( effort ) ikan demersal dengan Pukat Ikan ( Pl,fish net ) di Selat Malaka semakin tinggi disertai dengan menurunnya hasil tangkapan.

Di WPP Laut Cina Selatan, kepadatan stock ikan demersal pada tahun 2005 sebesar 1,70 ton/km2 dengan biomass sebesar 488.000 ton dan potensi lestari sebesar 244.000 ton. Dibandingkan dengan tahun 1978 ( 258.300 ton ), potensi tersebut adalah < 6 %. Terdapat,penurunan rata-rata ukuran beberapa jenis ikan demersal yang dominan tertangkap di perairan barat Kalimantan.
Ukuran ikan kuniran ( Upeneus sulphureus ), mata merah ( Priacanthus tayenus ) dan peperek ( Leiognathus bindus ) yang tertangkap dengan trawl pada tahun 2005 memiliki kisaran lebih kecil dibandingkan dengan hasil tengkapan trawl tahun 2001.

Di WPP Selat Makassar-Laut Flores,produksi ikan demersal yang tercatat diwilayah Kabupaten/Kota Berau,Bulungan,Nunukan, dan Tarakan diperkirakan sebesar 24.000 ton, sudah berada disekitar MSY ( potential yeild ) pada tahun 2005,yaitu Py = 23.000 ton; ( 21.000-26.000 ton ). Dengan demikian penambahan upaya dalam bentuk penambahan kapal atau alat tangkap hendaknya diarahkan ke perairan di luar 12 mil.

Di WPP Laut Arafura, terdapat perubahan komposisi ukuran dan jenis komunitas sumber daya udang dan ikan demersal yang ditunjukkan oleh perubahan kelimpahan dan komposisi udang pada beberapa tahun terakhir.Perubahan ini mengarah pada indikasi penurunan kualitas sumber daya.

Indikasi dari sisi operasional penangkapan : efisiensi penangkapan tinggi,alokasi armada penangkap di daerah pemusatan schooling, dan pemanfaatan sumber daya hampir di semua jalur dan lokasi pengkapan. Demikian halnya dengan besarnya armada penangkapan yang terus meningkat, dan diikuti oleh trend penurunan produtivitas dari tahun ke tahun, terutama untuk perikanan demersal dan udang, diperairan Arafura.

Secara ekologis bahkan terdapat lingkungan perairan demersal yang tidak layak untuk kehidupan biota laut,akibat besarnya hasil tangkapan sampingan (HTS) yang dibuang ke laut, hingga merusak kualitas perairan tersebut.

Di WPP Samudera Hinda, trend produksi ikan demersal periode 1992-2003 di sub WPP Barat Sumatera dengan tingkat produksi yang tinggi cenderung naik, sedangkan di sub WPP Selatan Jawa – Bali - Nusatenggara cenderung mendatar.Sesuai dengan teknologi penangkapan yang ada dewasa ini, ikan demersal yang dieksploitasi terbatas sampai isodepth 200 m, lebih dari itu sumber daya ikan demersal dapat dikatakan belum dimanfaatkan secara komersial.

SD Udang
Di WPP Selat Malaka, potensi lestari sumber daya udang ( untuk semua jenis/katagori ) berdasarkan model produksi surplus sebesar 73.000 ton dengan upaya optimum 9500 unit setara dogol. Tingkat pemanfaatan sumber daya udang sudah tinggi, pada tahun 1997 tingkat MSY dari perikanan udang sudah dicapai.Selama tahun 1992-2002 terdapat kecenderungan naiknya produksi dan CPUE diikuti oleh menurunnya effort.

Di WPP Selat Makassar – Laut Flores daerah penangkapan udang di pantai barat Sulawesi Selatan relatif amat sempit. Mengingat ketersediaan data yang kurang memadai, aplikasi model produksi surplus untuk menduga besarnya MSY terhadap perikanan udang tersebut tidak dapat diterapkan.

Dari sisi ekologis terdapat, perbedaan struktur komunitas sumber daya udang dan ikan demersal yang ditunjukkan oleh perbedaan kelimpahan dan komposisi hasil tangkapan dan hasil deteksi akustik pada beberapa lokasi penelitian. Perbedaan ini mengarah pada indikasi adanya stratifikasi dan pengelompokan sumber daya tertentu pada wilayah perairan tertentu.

Dari sisi operasional penangkapan, ada indikasi efisiensi penangkapan tinggi, alokasi penangkap di daerah pemusatan scholling,dan pemanfaatan sumber daya hampir di semua jalur dan lokasi penangkapan.

Di WPP Samudera Hindia, status perikanan udang di sub WPP Barat Sumatera diduga masih berada pada tahapan ‘developing’ atau pada awal tahapan developen, sedangkan di Selatan Jawa – Bali – Nusatenggara sudah jenuh. Hanya karena laju pertumbuhan individu yang tinggi, populasi udang dapat bertahan terhadap tekanan penangkapan.

REKOMENDASI.
Di WPP Selat Malaka, perlu upaya untuk mencegah penurunan stok ikan demersal melalui penghentian sementara izin penangkapan baru dan pengurangan armada penangkapan ikan terutama yang beroperasi di daerah kurang dari 12 mil.

Di WPP Laut Cina Selatan, tingkat pemanfaatan sumber daya ikan demersal sudah jenuh ( fully exoploites ) sehingga peluang pengembangan relatif kecil. Untuk optimalisasi pemanfaatan ikan demersal dapat dilakukan melalui penggunaan rawai dasar di perairan bagian utara Laut Cina Selatan dan pengembangan budi daya ( marine culture ) beberapa jenis yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.

Di WPP Laut Jawa,pengelolaan perikanan harus fokus pada interaksi alat tangkap, tidak hanya pada alat tangkap yang mempunyai target sumber daya yang sama, tetapi juga yang secara fisik saat beroperasi akan saling berbenturan satu sama lain diarea penangkapan yang terbatas. Pengaturannya melalui pendekatan dan kesepahaman lokal.
Kuota hasil tangkapan dan pembatasan upaya penangkapan dapat “ over exploitation” Regulasi pada perikanan pukat cincin harus memperthitungkan kenyataan perikanan saat ini yaitu : a ) Rata-rata hasil tangkapan jauh lebih rendah dari kapasitas kapal..b) Pengurangan subsidi BBM berpengaruh langsung terhadap aktivitas perikanan. c) Ketidak-berdayaan nelayan untuk keluar dari usaha perikanan akibat kesulitan alternatif pekerjaan lain.

Penurunan stock ikan seyogyanya, direspon dengan melaksanakan tindakan konservasi untuk membangun kembali stock, terutama kontrol terhadap peningkatan kemampuan tangkap ) taktik penangkapan. Solusi jangka pendek melalui regulasi tidak harus membekukan upaya penangkapan dan jumlah kapal yang ada, tetapi menghentikan sementara akses kapal baru. Dalam jangka panjang dapat dilakukan melalui regulasi tentang peningkatan taktik penangkapan dan mengontrol penggunaan jumlah lampu sorot.

Di WPP Selat Makasar – Laut Flores,khususnya sumber daya ikan pelagis kecil di perairan barat Sulawesi Selatan, di samping wilayah penangkapan yang sempit, juga tingkat eksploitasinya sudah cukup tinggi. Disarankan adanya perluasan wilayah penangkapan ikan ke arah lepas pantai maupun ke Laut Flores. Untuk wilayah perairan timur Kalimantan peluang pengembangan eksplotasi ikan pelagis masih terbuka. Peluang pengembangan pemanfaatan sumber daya ikan demersal dengan trawl/fish net terutama pada perairan < 12 mil, retalif sangat kecil, mengingat sempitnya daerah penangkapan.

Di WPP Teluk Tomini – Laut Seram, pengembangan perikanan pelagis di Teluk Tomini dapat diarahkan kedalaman lebih dari 150 m, dengan target ikan-ikan mesopelagis. Mengingat tingginya eksploitasi pada ikan muda/juvenil (tuna), pembatasan penangkapan terhadap ukuran tersebut perlu disosialisasikan.

Meskipun eksploitasi terhadap sumber daya ikan pelagis kecil belum memberi dampak yang nyata pada penurunan laju tangkap,mengingat terbatasnya wilayah perairan,status upaya yang ada saat ini dianggap cukup ideal. Penambahan upaya perlu dipertimbangkan dengan cermat. Bagi sumber daya ikan karang, perlu dikembangkan konservasi habitat karang melalui penertiban terhadap eksploitasi secara ilegal baik terhadap ikan karang maupun habitatnya.

Di WPP Laut Sulawesi-Samudera Pasifik,untuk sementara agar tidak diberikan izin tambahan dalam perikanan tuna, dan jumlah upaya yang ada sekarang dibiarkan dalam keadaan tetap ( status quo )

Perlu segera dilakukan langkah perbaikan pengumpulan data statistik ( komposisi jenis per alat tangkap,komposisi ukuran ) agar semua jenis – jenis ikan tuna tercatat secara akurat.

Di WPP Laut Arafura, pengembangan pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil masih terbuka, sedangkan sumber daya ikan demersal, akibat tingginya tingkat eksploitasi disarankan untuk tidak ditambah.

Di WPP Samudera Hindia, status sumber daya ikan pelagis kecil di perairan Barat Sumatera diduga masih berada pada tahap ‘developing’, sehingga peluang pengembangan pemanfaatan dapat dilakukan. Hal ini antar lain disebabkan oleh pemanfaatan yang dilakukan pada saat ini masih terbatas kepada sumber daya pelagis kecil neritik, sedangkan ikan pelagis kecil oseanik belum diketahui.

Peluang yang sama pada tingkat yang lebih rendah juga berlaku terhadap sumber daya udang, dimana titik beratnya adalah pada pencarian daerah ‘ kantong’ penangkapan baru di luar daerah penangkapan selama ini. Alat tangkap yang digunakan hendaknya lebiih selektif,seperti trammel net, yang hanya menangkap udang ukuran yang lebih besar.

Penggunaan rawai dasar untuk menangkap ikan demersal berukuran besar ( large food fish ) diduga masih terdapat peluang, yaitu pada kawasan – kawasan paparan benua dengan kemiringan yang relatif tinggi (slope), yang merupakan ‘ untrawlable ground’
Fish net yang sering dianggap sebagai unit upaya baku dalam mengeksploitasi sumber daya ikan demersal agar diganti dengan penamaan alat-alat tangkap sesuai dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries ( CCR-FAO )

Rencana Pengelolaan Perikanan ( Fisheries Management Plan ) baik yang basis WPP atau sumber daya ikan perlu segera dirumuskan dan diinisiasikan pelaksanaannya dengan mengikut-sertakan semua pihak yang terkait (stakeholders), sehingga pratek – pratek ilegal fishing dapat ditekan serendah mungkin.

Komoditas – komoditas lain yang ada di masing – masing WPP yang tidak terangkum dalam ringkasan eksekutif ini di uraikan secara memadai dalam makalah gabungan dari ke sembilan WPP